Oleh : Sure Wind Roy
BAGIAN III : Masa Penjajahan; Reaksi Ulama & Politikus dan Masa Kemerdekaan
Masa Penjajahan
Belanda tak senang melihat berkuasanya Kesultanan-Kesultanan Isam di wilayah Nusantara mulai dari Barat sampai keTimur.Belanda menugasi seorang tokoh orientalis, Snouck Hurgronje untuk melakukan penyusupan pemikiran dan politik ke dalam agama Islam. Menurut Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik. Dalam cermahnya didepan Civitas Academika Nederlands Indiesche Bestuurs Academie (Niba) di tahun 1911 M, Hurgronje menggariskan strategi memberangus Islam kedalam 3 kategori:
Pertama: Memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Hal ini berarti bahwa semua bentuk Kesultanan diseluruh wilayah Nusantara harus dihapus. Terbukti ketika Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 M yang diambilalih langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, keluar Ordonantie (Undang-Undang) yang mencabut penerapan Islam di Banten, bahkan kekuasaan Kesultanan Banten ikut dihapus.
Kedua: Melalui kerjasama antara Belanda dengan Sultan/Raja. Ini didasarkan kepada fakta bahwa selama ini pelaksanaan Syariat Islam selalu tergantung kepada sikap dan kebijaksanaan Sultan atau Rajanya.
Ketiga: Menyebar para orientalis, yang membawa misi pemerintahan penjajah dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor Voor Inlandsche Zaken, yang lebih dikenal dengan Kantor Agama, merupakan penasehat pemerintah dalam masalah pribumi. Kantor inilah yang kemudian mengeluarkan Undang-undang untuk menghambat perkembangan Islam. Misalnya Ordonantie Peradilan Agama di tahun 1882 M, yang mencegah agama mencampuri urusan politik (sekularisasi)
Dengan demikian, penguasaan dibidang ekonomi yang menjadi sumber pendanaan golongan Islam telah direbut oleh VOC, sedang penguasaan di bidang politik dihancurkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Reaksi Ulama dan Politikus
Perjuangan mengembalikan Islam ke kancah politik di Hindia Belanda terus diupayakan guna menghadapi sepak terjang penjajah. Pada 16 Oktober 1905, berdirilah Sarekat Islam (SI) yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi politik inilah yang seharusnya dijadikan tonggak bangkitnya bangsa Indonesia, bukannya Boedi Oetomo yang baru berdiri di tahun 1908.
Setelah berdirinya Sarekat Islam (SI), KH Achmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sementara Taman Siswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro pada tahun 1922. Ketika Khilafah Islamiyah di Turki dihancurkan oleh Inggris melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal Ataturk, dunia Islam goncang. Setelah peristiwa itu sampai dengan saat ini (sekarang 2007), upaya mengembalikan kekhilafahan selalu terus diperjuangkan di seluruh dunia, tak ketinggalan Umat Islam di Indonnesia
Pada tahun 1922, para Ulama di Hindia Belanda, menggelar Konggres Islam di Ceribon, Jawa Barat. Kemudian di tahun 1924, Konggres serupa diadakan di Garut, Jawa Barat. Berikutnya di tahun 1926, diadakan Muktarnar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Komperensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, Jawa Barat, sebagai respon atas undangan Konggres Islam Sedunia yang diselenggarakan di Saudi Arabia.
Di tahun 1924, Syarif Husein, Amir Makkah, membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang Sayyid ditambah 19 orang perwakilan dari negara lainnya. 2 orang dari 19 itu berasal dari Hindia Belanda (Indonesia.).
Pada 13-19 Met 1926, diadakan Konggres Dunia Islam di Kairo, Mesir. Dari Hindia Belanda yang hadir H Abdoellah Ahmad dan H Rasoel. Kemudian pada 1 Juni 1926, diselenggarakan konggres Khilafah di Makkah, dari Hindia Belanda dikirim 2 utusan, yaitu : HOS Tjokroaminoto (Sentral Sarekat Islam) dan KH Mas Mansoer (Muhammadiyah). Penunjukan mereka itu ditetapkan dalam Konggres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta, 21-27 Agustus 1925, dan Konggres ke-5 di Bandung pada 6 Pebruari l926. Msreka berdua berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan menumpang kapal Rondo, dielu-elukan oleh masyarakat.
Di tahun 1927, berlangsung Konggres Khilafah ke-2 di Makkah. Hindia Belanda diwakill oleh H Agoes Salim (Sarekat Islam). Pada peristiwa ini Raja Saudi dalam sambutannya tidak menginginkan dibicarakannya masalah Khilafah. Dengan demikian, jelas, Konggres tersebut menemui kegagalan.
Di Masa Kemerdekaan
Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para tokoh Islam yang menghendaki Indonesia sebagai Negara Agama dengan Islam sebagai agama negara, dengan golongan Nasionalis Sekuler yang menghendaki Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State). Melalui perdebatan yang intelek, berbobot, dan sengit selama berhari-hari, akhirnya dicapai suatu kompromi dengan menghasilkan Teks Proklamasi dan Dasar Negara yang dinamakan Piagam Jakarta dan disyahkan pada 22 Juni 1945. Dalam rumusan Dasar Negara disebut bahwa negara dibentuk berdasarkan: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Sayang, bahwa ternyata Teks Proklamasi yang dibacakan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bukan dari Piagam Jakarta. Bahkan 7 kata dalam Dasar Negara yang dinamakan Piagam Jakarta, dihapus oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoesia (PPKI) pada 18 agustus 1945, atas rekayasa Mohammad Hatta.
Pada 3 januari 1946, masalah Syariat Islam lebih dikerdilkan lagi, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan agama Islam hanya menjadi urusan 1 kementerian saja, yaitu Kementerian Agama.
Pada 23 Januari 1953, Presiden Soekamo dalam pidatonya di Amuntai mengatakan, bahwa apabila negara yang didirikan pada 17 Agustus 1945 berdasarkan Islam, maka banyak daerah yang banyak penduduk non-Muslimnya akan lepas. Pidato Soekamo ini mendapat reaksi keras dari tokoh Islam dan organisasi Islam, diantaranya NU, Front Mubaligh Islam, Partai Islam (Perti), Persatuan Islam (Persis), Gerakan Pemuda Islam Indonesia. PB NU yang diketuai KH A Wahid Hasyim menulis: " ....... pemyataan bahwa pemerintahan Islam tak bisa memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, adalah merupakan perbuatan munkar yang tiak dibenarkan Syariat Islam dan hukumnya wajib bagi setiap Muslimin menyatakan ingkar atau tidak menyetujuinya........."
Syariat Islam terus dijauhi, disingkirkan, partai Islam yang dinilai menjadi lawan golongan Nasionalis Sekuler dalam usahanya mensekulerkan negara Indonesia, yaitu Masyumi, dibubarkan oleh Soekarno.
Di zaman Orde Baru (pemerintahan Soeharto), Islam dimarjinalkan (disisihkan, dipinggirkan). Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam, dituduh subversi dan dianggap sebagai musuh negara, anti pembangunan. Untuk kepentingan tersebut diterbitkan Undang-undang Anti Subversi.
Di era reformasi atau demokrasi liberal kapitalistis, UU Anti Subversi dicabut. Namun sebagai gantinya lebih hebat dari UU Anti Subversi karena prakarsanya Amerika Serikat, yaitu UU Anti Terorisme dengan aparatnya yang khusus menanganinya, yaitu: Detasemen Khusus 88 (Densus-88) termasuk jajaran Polri, yang mulai pembentukannya sampai dengan operasionalnya dibiayai sepenuhnya oleh Amerika Serikat. UU Anti Terorisme ini memang khusus ditujukaan untuk melenyapkan umat Islam yang diberi stigma "teroris" dan menghancurkan agama Islam.
Sekalipun kaum kafir kapitalis imperialis sekuler terus berusaha menghancurkan Islam, tetapi perjuangan Islam untuk mempertahankan diri dan tetap eksis serta kembali kepada kejayaaan Islam, justru semakin meningkat. Walaupun sekulerisme, pluralisme, liberalisme, kapitalisme terus menerus dihunjamkan ke tubuh anak bangsa ini, temyata suara Islam malah semakin nyaring. Kesadaran untuk menerapkan Syariat Islam semakin tumbuh berkembang di berbagai wilayah Nusantara. Telah bermunculan Peraturan Daerah yang berorientasi kepada Syariat Islam.
Bagaimana kelanjutan keberadaan bangsa dan negara ini? Wallahu a'lam bish-shawab!
Kembali ke BAGIAN I : Masuknya Islam ke Indonesia dan Kedatangan Para Wali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar