Oleh : Sure Wind Roy
BAGIAN II : Masa Kerajaan
Pada tahun 100 H / 718 M, Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Sindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin 'Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Ia minta dikirimi da'i yang bisa menjelaskan tentang Islam kepadanya. Surat itu berbunyi sebagai berikut: "Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu Raja, yang istrinya juga cucu seribu Raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya sehingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenamya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya." Dua tahun kemudian yaitu pada 720 M, Raja Sindravarman yang semula beragama Hindu, masuk Islam. Ia kemudian dikenal dengan nama Sribuza Islam. Tetapi sayang, pada tahun 730 M, Raja Sriwijaya Jambi tersebut yang telah bernama Sribuza Islam, ditawan oleh Raja Sriwijaya Palembang yang masih menganut agama Buddha.
Tak terlalu lama dari zaman Sriwijaya, yaitu 1 Muharam 225 H atau 12 Nopember 839 M, berdiri Kesultanan Peureulak di Aceh. Setelah itu muncul Kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, dan Palembang. Kekuasaan Islam terus berkembang di Nusantara, walaupun perkembangannya tidak serta merta cepat. Tahun 1440 M berdiri Kerajaan Ternate bersamaan dengan masuknya Islam ke kepulauan Maluku. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun ia sudah memeluk Islam, tetapi ia belum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Barulah institusi politik itu terwujud setelah Kerajaan Ternate secara resmi berubah menjadi Kesultanan Ternate dibawah Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486 M. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Kerajaan Tidore dan Kerajaan Bacan. Selain itu berkat dakwah yang dilakukan secara intensif oleh Kerajaan Bacan, banyak kepala suku di Papua yang memeluk Islam.
Institusi Islam lainnya terdapat di Kalimantan, yaitu: Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah , Sintang, dan Kutai.
Bersamaan waktunya dengan itu, di Jawa berdiri Kesultanan yang pertama yaitu di Demak. Kesultanan ini kemudian dilanjutkan dengan Kesultanan Jipang, Kesultanan Pajang, dan Kesultanan Mataram. Di Jawa bagian Barat berdiri Kesultanan Banten, dan Kesultanan Ceribon. Sunan Gunung Jati juga merintis berdirinya Ksultanan Islam.
Sementara di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi Kerajaan Gowa, Talo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu.
Islam telah menjadi identitas sebuah institusi politik yang bernama Kesultanan yang menerapkan hukum-hukum Islam. Di bidang peradilan, hukum Islam dijadikan hukum negara yang menggantikan hukum adat (diberlakukan di Samudra Pasai, Aceh) pada abad ke-17 M. Memang, tak semua Kesultanan atau Kerajaan menerapkan hukum Islam secara ketat. Ada yang penerapannya longgar, seperti yang terjadi di Mataram. Hal ini disebabkan karena pengaruh adat serta agama sebelumnya (Buddha dan Hindhu) masih sangat kuat.
Menurut AC Milner, penulis buku: "Islam and The Muslim State.", Aceh dan Banten adalah Kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara.
Di Aceh, Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri, Meurah Popok, karena berzina dengan istri seorang Perwira.
Sultan berkata: "Mati anak ada makamnya, mati hukum, kemana hendak dicari.
Kerajaan Aceh Darusalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijatuhkan kepada mereka yang melanggar ketentuan.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda, telah mengeluarkan kebijakan bahwa riba hukumnya haram. Saat itu mata uang Aceh pertama yaitu deureuham sudah beredar. Beratnya 0,57 gram dari emas dengan kadar 18 karat dan diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya.
Di Kesultanan Samudra Pasai, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, juga telah dikeluarkan mata uang emas. Bila ditilik dari bentuk dan bahannya uang emas tersebut mencerminkan hasil teknologi serta kebudayaan yang telah tinggi.
Dalam bidang hubungan luar negeri, sejarawan TW Arnold menyebutkan, bahwa Sultan Samudra Pasai-III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir, menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non- Muslim, agar mereka tunduk dan dibebani membayar jizyah atau pajak kepada kerajaan.
Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, hikayat Raja-Raja Samudra Pasai menceritakan bahwa Malikus Sholeh telah melaksanakan aqiqah, bersedekah kepada fakir miskin, mengkhitankan anak, melakukan tata cara penguburan mayat berdasarkan Islam seperti: memandikan, mengkafani, menshalati, dan menguburkan.
Di Banten, seseorang yang terbukti mencuri 1 gram emas, akan dipotong tangan kanannya. Jika ia melakukannya lagi maka akan dipotong kaki kirinya. Begitu seterusnya dilaksanakan secara bersilang antara tangan dan kaki. Hukum ini dilaksanakan di zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1680 M).
Sejarah Banten menyebutkan bahwa Syaikh tertinggi di daerah itu biasa disebut Kiai Ali atau Ki Ali yang kemudian menjadi Kali (Qadhi / Hakim). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar, Fakih Najmuddin. Gelar ini dikenal selama 2 abad berikutnya. Hakim pada mulanya dijabat oleh seorang Ulama dari Makkah. Tetapi setelah tahun 1651, Hakim dijabat oleh para bangsawan Banten. Hakim di Banten mempunyai peranan yang besar dibidang politik.
Kesultanan Demak, sebagai Kesultanan Islam pertama di Jawa Juga memiliki qadhi / hakim. Jabatan itu dipegang oleh Sunan Kalijaga. Hal ini diungkapkan oleh De Graft dan Th Pigeaud.
Di Kerajaan Mataram, Sultan Agung mengadakan perubahan tata hukum. Dialah yang mengubah peradilan Pradata (Hindu), menjadi peradilan Surambi, karena peradilan ini bertempat di serambi Masjid Agung. Pelaku kejahatan dihukum menurut Kitab Qisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung. Penghulu pada masa Sultan Agung mempunyai tugas sebagai Mufti, yaitu penasehat hukum Islam dalam sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai Qadhi atau Hakim, sebagai Imam Masjid Raya, sebagai Wali Hakim, dan sebagai Amil Zakat.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku "Kitabun Nikah" yang khusus menguraikan fiqh muamalah dalam bidang perkawinan berdasarkan madzhab Syafi'i . Kitab ini telah dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Begitu juga hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah telah diatur dalam Kitab Fathul Jawad. Tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah penguasaan Kerajaan. Oleh karena itu tak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali kalau memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Islam di masa lalu betul-betul menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Selain yang disebut diatas, secara umum di wilayah Kesultanan Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (qiradh, mudharabah, muqaradhah)
Puncak kejayaan kerajaan Islam terjadi pada abad ke-15 M, dengan tersebamya 40 kekuasaan politik Kesultanan. Sebelumnya, Hindu dan Budha tidak sebanyak itu. Penyebaran agama Islam sebagian besar didanai oleh para wirausahawan. Dari pembiayaan itu, terbentuk 3 pos pusat pengembangan, pasar, masjid, pesantren. Kekuasaan Kesultanan Islam melemah setelah munculnya Verenigde Oostindiesche Compaignie (VOC). Mereka telah mematahkan dan merebut pasar, yang tadinya dikuasai sepenuhnya oleh golongan Islam. Kemudian penguasaan pasar itu oleh VOC dialihkan kepada golongan Oosterling, yaitu kelompok bangsa-bangsa Timur, misalya Cina, Arab, India. Mereka diberi hak monopoli oleh VOC.
BAGIAN III : Masa Penjajahan; Reaksi Ulama & Politikus dan Masa Kemerdekaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar