Ilahiah Allah adalah ketuhanan yang Mahaesa.
Ilahiah Allah adalah diibadatinya Allah dengan segala nama, gelar dan
sifat-Nya. Hak Allah untuk diibadati dan tidak disekutukan dengan apa dan
siapapun juga.
Dihadirkannya sosok makhluk, sebagai figur
tokoh yang mulia, walaupun karena ketaatan sosok itu pada Allah Subhaanahu
wa Ta'aalaa, manusia menjadi berketergantungan padanya karena kitab-kitab
Allah yang diwahyukan sebagai ajaran kenabian melalui para rasul-Nya tidak difahami
untuk dipegangi dengan ketaatan yang istiqamah.
Ketergantungan pada hadirnya sosok untuk
dijadikan pegangan berpendirian, figur tokoh manusia yang dijadikan ikutan,
bahkan sekalipun ia adalah nabi, oleh karena tidak memahami ayat-ayat Allah
dalam kitab-kitab-Nya dan kenabian rasul-Nya menjadi mengabsenkan ilahiah Allah
Subhaanahu wa Ta'aalaa adalah kesesatan yang nyata.
Mengabsenkan ilahiah Allah juga dikatakan
sebagai keras membatunya hati untuk menghadirkan Allah dalam sebutan dan keras
hati untuk menghadirkan ayat Allah dalam segala segi kehidupan yang ditaati.
Kesesatan yang nyata itu sebagaimana
difirmankan Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa :
Maka apakah orang-orang yang dilapangkan
dadanya oleh Allah untuk Islam maka ia ada pada cahaya dari Rabb-nya (sama
dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan
yang nyata. (QS. 39/Az-Zumar : 22)
Kesesatan yang nyata itu sebagaimana umat
nasrani berfaham gereja dalam ketergantungannya pada hadirnya Nabi Isa putra
Maryam menggantikan pemahaman dan pemegangannya pada ayat-ayat Allah dalam
kitab-Nya, Taurat dan Injil yang asli untuk ditaati secara istiqamah.
Kesesatan
yang nyata itu sebagaimana yang disebutkan Al-A'zhami sebagai berikut :
Kristus dikatakan sebagai salah satu dari tiga
unsur Ketuhanan (Godhead). Siapapun yang masuk ke sebuah gereja, gereja manapun
yang diakui secara tradisional, bagaimanapun juga akan segera melihat absennya
dua per tiga dari Ketuhanan ini secara telanjang, dengan hanya figur
satu-satunya yang terpampang, Yesus.
Bapak dan Roh Tuhan telah dilupakan hampir sepenuhnya, dan sebagai gantinya
Yesus Kristus mendapatkan kedudukan terkemuka (Prof. Dr. M.M. Al-A'zami, Sejarah Teks
Al-Qur'an, dari Wahyu sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Gema Insani, Jakarta, cet. I, 2005,
hal. 299)
Ketergantungan pada sosok figur tokoh manusia
yang dijadikan ikutan menggantikan difahaminya ayat-ayat Allah dalam
kitab-kitab-Nya untuk ditaati sudah terjadi sejak generasi umat nabi Allah
kedua setelah Nabi Adam yaitu umat nabi Idris 'alaihimaas-salaam.
Wadd, Suwaa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr adalah lima sahabat nabi Idris
yang shalih yang taat pada ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan setia dengan
istiqamah mengikuti jejak kenabian Rasul Allah, Idris yang diutus setelah nabi
Adam 'alaihimaas- salaam. Bandingkan kesamaannya dengan Abu Bakar, 'Umar
bin Khaththab, 'Utsman bin 'Affan dan 'Ali bin Abi Thalib yang adalah
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sekaligus
penerus kepemimpinan beliau di atas jejak kenabian yang beliau sebut Khulafa'ur-Rasyidiin
al-mahdiyyiin (para khalifah, penerus kepemimpinan beliau yang di jalan kebenaran
dan berpetunjuk) dan disebut beliau sebagai khilafah 'alaa minhajin-nubuwah
(para khalifah, penerus kepemimpinan
beliau di atas jejak kenabian)
Sepeninggal para sahabat Nabi Idris yang shalih
yang boleh dikatakan meninggal dunia secara berturut-turut itu, umat Nabi Idris
lepas dari difahaminya ayat-ayat Allah dalam kitab-kitab-Nya untuk ditaati dan
sunnah kenabian Nabi Idris untuk diikuti dan menggantinya dengan ketergantungan
pada sosok figur ketokohan Wadd, Suwaa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr.
Ketergantungan pada sosok figur ketokohan Wadd,
Suwaa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr, orang-orang shalih sahabat Nabi Idris,
demikian pula 'Ali bin Abi Thalib, orang shalih sahabat Nabi Muhammad shallallaahu
'alaihi wa allam melebihi adanya yang bukan nabi, sebagaimana juga nabi Isa
Putra Maryam melebihi adanya yang bukan tuhan menjadi mengabsenkan Allah, nama,
gelar dan sifat-Nya baik sebagian kecil maupun sebagian besar atau bahkan
keseluruhannya. Sehingga selayaknya Ash-Shamad itu, yang segala sesuatu
bergantung padanya itu sebagaimana yang membasahi bibir pelaku ritual dzikir
memang adalah Allah, tetapi diperlakukan sebagai Tuhan plus ataupun Tuhan
minus. Padahal fundamentalisme, radikalisme dan ekstremisme perlakuan terhadap
Ash-Shamad, yang segala sesuatu bergantung padanya yang sedemikian itu, sama
sekali bukanlah Allah. Sama sekali
bukanlah Allah.
Padahal tidak mengabsenkan ilahiah Allah, baik
sebagian ataupun keseluruhan hanya ada satu jalan, yaitu memahami ayat-ayat
Allah dalam kitab-kitab-Nya untuk ditaati dan sunnah kenabian untuk diikuti.
Tidak dengan lainnya baik sama sekali menggantinya maupun walau sekedar dengan
mengoplos atau campursari.
Itulah yang terjadi ketika kemudian Allah
mengutus Nabi Nuh kepada umat manusia sepeninggal Nabi Idris dan para shabat
yang shalih itu.
Nuh
berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang
menjelaskan kepada kalian, (yaitu) sembahlah oleh kalian Allah, bertakwalah
kepada-Nya dan ta`atlah kepadaku". (QS. 71/Nuuh : 2-4)
Maka
missi kenabian dan kerasulan Nuh 'alaihis-salaam untuk manusia menempuh jalan memahami ayat-ayat Allah dalam
kitab-kitab-Nya untuk ditaati dan sunnah kenabian untuk diikuti, mendapat
penentangan dan perlawanan dari kaumnya dengan segala fundamentalisme, radikalisme dan ekstremismenya.
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali
kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula
sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa`,
yaghuts, ya`uq dan nasr". (QS. 71/Nuuh : 23)
Umat Nabi Nuh yang menentang bahkan melawan
dihadirkannya ilahiah Allah itu bukan hanya perorangan, bukan pula komunitas
minor melainkan adalah umat manusia penduduk bumi untuk ukuran zaman
kegenerasiannya.
Ilahiah yang diibadati, yang berkenaan dengan
urusan kehidupan yang fundamental dan asasi mereka bergantung padanya itu mereka lepaskan
dari Allah kemudian mereka mendaulatkannya pada sosok figur tokoh manusia
hamba-hamba Allah yang shalih yang telah wafat, yang adalah bukan nabi apalagi
tuhan. Itulah yang mereka legalkan menjadi sah untuk melawan missi kenabian dan
kerasulan Nabi Nuh yang mereka hukumi aneh, asing dan illegal.
Perlakuan mereka terhadap hamba-hamba Allah
yang shalih sedemikian itupun disahkan dan direstui hanya dengan memplesetkan
sebutannya menjadi sebagai menghormati leluhur, perantara mendekatkan diri pada
Tuhan, mengharap barakah, ampunan dan karunia fadhilah. Sama halnya apakah
dibuatkan patungnya sebagaimana Wadd, Suwaa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr ataupun
tidak.
Absenkan Kitabullah dari Pemhaman untuk Ditaati
Mengabsenkan ilahiah Allah Subhaanahu wa
Ta'aalaa menjadi kepentingan otomatis orang beragama apapun apabila
ayat-ayat Allah dalam kitab-kitab-Nya telah absen dari pemahaman untuk ditaati.
Ini di luar orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab, Yahudi atau Bani Israil
yang mereka ma'shiyat, tidak mau taat pada ayat-ayat Allah bukan karena tidak
memahami, tetapi karena kedengkian walaupun sangat memahami kitab-kitab Allah
sepenuhnya.
Orang berakal dengan berfikir sangat sederhana
dengan mudah bisa memahami pesan seperti berikut ini :
Absekan kitab-kitab Allah dari pemahaman untuk
ditaati di segala segi kehidupan dan di setiap zona di muka bumi otomatis
ilahiah Allah diabsenkan.
Kemudian dari itu bangunlah lembaga-lembaga
pendidikan, jaringan media komunikasi, buatlah kurikulum, organisasikanlah
menjadi orpol, ormas, jamaah kemudian lancarkan kepada orang-orang di dalamnya sanjungan-sanjungan
pada hamba-hamba Allah yang shalih seperti nabi Isa bin Maryam melebihi adanya
menjadikan satu umat beragama terntentu, pada Ali bin Abi Thalib melebihi adanya menjadi umat beragama yang
lain, demikian pula menjadikan umat-umat yang berfaham teologi berbeda-beda,
faham sosial, politik dan ekonominya. Kemudian lempari mereka dengan uang yang
jaringan perbankannya telah detail ke setiap orang dan berikan bocoran sedikit
ilmu berpolitik, menyusun undang-undang dan membuat senjata, maka kalian
tinggal nonton mereka saling menerkam satu sama lain dan saling menjatuhkan
hingga membinasakan dengan argumentasi akademik, dengan fitnah, riba, narkoba
maupun senjata kimia. Sama halnya yang legal maupun illegal. Mereka tidak akan
sempat melihat kalian sebagai musuh ataupun setan manusia. Dengan begitu kalian
bisa menentukan siapa yang dibinasakan lebih dulu dan yang dimenangkan
sementara untuk kemudian didorong pesaing baru yang melawannya. Dan seterusnya.
Sebagaimana Anda bisa menentukan siapa yang menjadi kepala negara, kepala
pemerintahan, pemimpin nasional di suatu negara pada periode yang akan datang.
Logikanya adalah peternakan manusia, Andalah peternaknya.
Bila Anda tidak bisa memainkan permainan ini, itu hanyalah kebodohan Anda
Bila Anda tidak bisa memainkan permainan ini, itu hanyalah kebodohan Anda
Tentu saja ini tidak akan dilakukan oleh
hamba-hamba Allah yang memilih jalan selamat dari murka Allah, adzab-Nya dan
dosa. Tetapi inilah jalan yang dipilih oleh setan jin dan setan manusia dengan
sumpah kepada Allah untuk menempuhnya yang disebut sebagai al-maghdhuubi
'alaihim.
Mengabsenkan pemahaman ayat-ayat Allah dalam
kitab-kitab-Nya untuk ditaati dan sunnah kenabian rasul-Nya untuk diikuti cukup
untuk menjadi terabsenkannya ilahiah Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa.
Iwan Gayo asal Takengon, Aceh kini tinggal di
Jl. Menjangan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan dalam Esiklopedia Islam
Internasionalnya menulis sebagai berikut : Sangat sedikit orang yang tahu RA.
Kartini merupakan pelopor lahirnya Al-Qur'an terjemahan di Indonesia. Kartini meminta KH.
Saleh Darat, mufti Kesultanan Demak kala itu untuk menerjemahkan Al-Fatihah ke
dalam bahasa Jawa. "Tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak
diketahui artinya" Kata Kartini (Harian Jawa Pos, 8 Maret 2013, hal. 11).
Ada seseorang memberi kesaksian (12 Maret 2013) bahwa pada masa
lalu ada orang yang menggelapkan mobil rentalnya yang kemudian ditemukan
setelah berbulan-bulan. Si penggelap mobil rental itu adalah penghafal
Al-Qur'an.
Demikian
pula absenkan sunnah kenabian Rasulullah dari pemahaman untuk diikuti, diganti
dengan yang dari orang yang bukan nabi, yang terjadi adalah menghadirkan sosok
figur yang Rasulullah tidak rela.
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak rela sosok figur ketokohan
dirinya dikedepankan beserta ilahiah Allah.
“Seorang laki-laki datang kepada
Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wa salam lalu ia berkata kepada beliau,
‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa salam bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan)
bagi Allah? Katakanlah, “Hanya atas kehendak Allah semata.” (HR. Ahmad dan
Nasaa’i, dengan sanad shahih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar