Dalam revolusi Perancis kekuasaan telah dilepaskan dari raja, dikembalikan kepada rakyat bangsa (nation) Perancis. Kepercayaan kepada bangsa melahirkan faham kebangsaan (nasionalisme).
Nasionalisme adalah paham berdasarkan rasa kebangsaan; yaitu gerakan yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, kemakmuran dan kepentingan-kepentingan lain dari suatu bangsa.
Menurut Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Islam, 1986) nasionalisme diartikan sebagai “suatu keadaan pada individu di mana ia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”.
Berbeda dengan tumbuhnya nasionalisme bangsa Perancis di Barat, maka nasionalisme yang tumbuh di negeri-negeri Timur yang merdeka terbebas dari koloni bangsa Barat adalah nasionalisme berdasarkan wilayah jajahan kolonialnya. Seperti kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tumbuh di wilayah Nusantara, wilayah yang merdeka dari jajahan Belanda.
Di negeri yang sudah lama merdeka dari penjajahan, nasionalisme merupakan gerakan yang konservatif, bahkan kadang-kadang tampak sebagai politik yang bercorak imperialisme.
Pada bangsa-bangsa yang ada dalam penjajahan kekuasaan asing nasioalisme biasanya revolusioner sifatnya.
Nasionalisme sebagai hasil revolusi Perancis pada mulanya adalah cita-cita suci rakyat. Tujuannya adalah membebaskan bangsa-bangsa dari kekuasaan absolutisme, memaklumkan kemerdekaan mereka, menyerahkan lambang kedaulatan dari raja kepada rakyat, mendirikan susunan masyarakat berdasarkan asas kesederajatan, kebebasan dan persaudaraan. Akan tetapi setelah ditegakkan sebagai asas politik yang pokok, maka nasionalisme mengalami nasib yang sama dengan nasib semua cita-cita revolusioner, yakni berhenti dari sifat revolisoner setelah menjelma menjadi kenyataan.
Nasionalisme bukan suatu konsepsi politik. Ia tidak mewakili cita-cikta kemanusiaan. Ia hanyalah merupakan “pernyataan utama” dari kepentingan orang yang paling berkuasa.
Hanya dua kenyataan mengenai manusia : 1). Individu dan 2) Umat manusia. Semua penggolongan menurut kasta, suku, kelas, bangsa adalah penggolongan yang sewenang-wenang, dangkal (Ceramah Ideologi Ustadz Ahmad Zuhri, Villa Hidayatullah, Batu, Malang, 17-19 Mei 1999).
Di samping nasionalisme hasil revolusi bangsa Perancis dan nasionalisme yang timbul dan reaksi bangsa-bangsa jajahan Barat di Timur yang memerdekakan diri dari kekuasaan kolonial, juga terdapat nasionalisme yang dikobarkan dari Barat dihembuskan ke bangsa-bangsa muslim. Nasionalisme yang disebutkan terakhir ini menurut Muhammad Al Ghazali dalam buku Mi-ah Su-al ‘Anil Islam, juga nasionalisme yang baru muncul dua abad silam di benua Eropa, sengaja disebarkan oleh musuk-musuh Islam ke tengah kaum Muslimin. Mereka melihat, paham ini sangat potensial untuk menghancurkan persatuan umat Islam sedunia yang memang terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Dan mereka berhasil. Paham yang semula tidak dikenal dalam Islam, kini telah menjadi bagian denyut nadi umat, nyaris tanpa koreksi.
Turki, sebagai pusat pemerintah Islam adalah negeri pertama yang dijadikan tempat persemaian pahan nasionalisme. Bernard Lewis dalam buku Islam in History sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Naqawi dalam buku Islam dan Nasionalisme menyebut tiga tokoh Yahudi yang menyebarkan nasionalisme di Turki. Mereka adalah Artur Lumiety David, seorang Yahudi Ingris yang pergi ke Turki dan menulis buku Preliminary Discourses. Di situ ia berupaya menunjukkan betapa bangsa Turki adalah ras lain yang khas dan lebih unggul dari bangsa Arab maupun ras timur lain. Pikiran ini sangat berpengaruh pada orang-orang Turki. Pertama kali itulah mereka membayangkan diri sebagai ras yang berbeda dan lebih unggul dari ras lain. Gagasan ini makin berkembang setelah tahun 1851. Fuad dan Joudat Pasha menerjemahkan kebanyakan karya David ke dalam bahasa Turki. Sementara itu, penulis lain, Ali Sawi, menerbitkan artikel-artikel yang berbicara tentang kegemilangan masa lalu ras Turki. Lalu, David Leon Cohun, Penulis Yahudi Perancis, tahun 1899 menulis buku tentang superiositas bangsa Turki, puji-pujian kepada dan sejarah perjuangan mereka.
Bernard Lewis sangat yakin, orang-orang Yahudi inilah yang mengilhami berdirinya gerakan Turki Muda tahun 1908 - sebagai penggerak utama di dalam negeri bagi penghancuran Khilafah (Kekhalifahan) Ustmani. Paham nasionalisme Turki telah membangkitkan prasangka rasial dan melemahkan ikatan mereka dengan kaum Muslimin di belahan lain.
Orang-orang Eropa mulanya mendirikan kelompok-kelompok rahasia, seperti Turki Muda yang pada awalnya dibantu oleh Perancis melalui konsulatnya. Pada tahun 1908. Turki Muda melancakan kudeta dan menculik Sultan Abdul Hamid II. Pada anggota Turki Muda mengambil alih kekuasaan. Mereka melancarkan kebijakan-kebijakan politik sekularisasi. Sebagai jawaban atas kebijakan itu, orang-orang Arab, Kurdi, Albania dan kelompok masyarakat yang lain membentuk pula kelompok masyarakat sendiri secara rahasia. (Shaber Ahmed dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Al-Izzah, Bangil, Cet. I, 1997, hal. 73-74).
Tetapi yang paling berperan dalam penciptaan nasionalisme Turki dan Arab adalah seorang orientalis tersohor, Arminius Vambery anak Rabi Yahudi Hongaria. Ia menyebarkan sejumlah tulisan mengenai keharusan menghidupkan kembali kebangsaan, bahasa dan literatur Turki. Tulisan ini menarik perhatian kaum terdidik yang sudah sangat terbaratkan.
Jelaslah bahwa kekhilafahan Turki Utsmani yang selama sekitar 500 tahun menyatukan kaum Muslimin se-dunia mendapatkan paham nasionalisme dari Barat. Sebelum gagasan Barat tentang nasioalisme ini berkembang, tidak ada tanda-tanda adanya nasionalisme di wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Bahkan sampai pada permulaan abad ke 20 ini, Turki tidak memandang bangsa Arab sebagai orang asing, dan demikian pula sebaliknya. Bangsa Arab damai-damai saja menjadi bagian dari kekhilafahan itu, karena merekapun satu agama. Malah khalifah Sultan Abdul Hamid didampingi penasihat yang berasal dari Arab, seperti Abdul Huda.
Satu tujuan utama mengapa orang-orang Yahudi merangsang perasaan nasionalisme adalah untuk melicinkan jalan bagi penduduk Palestina. Orang Yahudi menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain untuk mewujudkan Negara Israel di tanah Palestina kecuali dengan menumbangkan Khalifah Abdul Hamid, memenjarakannya dan menyulut perselisihan antara Arab dan Turki. Dan itulah yang kini terjadi, Negara Israel berhasil didirikan di tanah Palestina, dan sekitar 1,2 miliar kaum Muslimin yang telah terpecah lebih dari 50 negara (pada umumnya telah disekulerkan) tidak mampu menghadapi kejahatan Negara Yahudi yang berpenduduk hanya sekitar 7 juta itu, hingga sekarang (Lembar Jum'at, Misykat, Semarang, edisi 76).
Setelah dihidupkan dan dikobarkan ashabiah kebangsaan di Arab, suku-suku yang kuat dimobilisir untuk bangkit melawan khilafah Utsmani dengan diberikan janji berupa bantuan keuangan dan kemerdekaan negaranya. Inggris pada awalnya memanfaatkan Syarif Hussain bin Ali beserta anaknya Faisal dan Abdullah bin Hussain untuk memberontak melawan Khalifah. Hasil dari kebijakan politik Turki Muda dan pengaruh Inggris terhadap Syarif Hussain, maka terjadilah revolusi Arab tahun 1916. Semua diatur Inggris dan jaringan inteligennya. Bendera revolusi Arabpun dipilihkan oleh Inggris dan sekarang dipakai Palestina Liberation Organization (PLO).
Agen intelegen Inggris, TE Lawrence menyebutkan dalam bukunya,’Seven Pillars of Wisdom’ sebagai berikut : “Sebelum saya di tanah Hijaz, saya percaya benar bahwa gerakan nasionalistik Arab akan menjatuhkan Negara Utsmani” (Shaber Ahmed dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Al-Izzah, Bangil, Cet. I, 1997, hal. 74-75).
Ketika Inggris mulai tidak menyukai Syarif Hussain bin Ali, kemudian Inggris menggantikannya dengan Abdul Al-Aziz bin Sa’ud, yang juga dibantu Inggris dalam usahanya untuk meraih kekuasaan. (Shaber Ahmed dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Al-Izzah, Bangil, Cet. I, 1997, hal. 60).
Latar belakang keluarga Sa’ud, diantaranya adalah bahwa pada pertengahan abad ke-18, sebuah amirat lokal, dipimpin oleh amirnya, Muhammad ibn Sa'ud (meninggal 1765), menguasai suatu desa yang kering dan miskin, Dariyah. Karena kegiatannya yang selalu membuat onar, dan mengganggu jamaah haji, kelompok Al Sa'ud terus-menerus dalam konflik dengan pemerintahan Utsmani.
Beberapa tahun kemudian, berkat bantuan seorang broker politik, Rashid Ridha namanya murid dari Muhammad Abduh, untuk memperkuat rong-rongan terhadap Istambul, anak cucu Ibn Sa'ud membangun aliansi dengan Pemerintah Kolonial Inggris. Aliansi ini terjadi pada masa Sa'ud bin Abdal Aziz, anak Abdal Aziz Ibn Sa'ud, cucu Muhammad ibn Sa'ud. Untuk perannya ini Ridha 'menerima imbalan 1,000 pound Mesir untuk mengirimkan sejumlah utusan ke provinsi Arab di [wilayah] Utsmani untuk memicu pemberontakan,' pada 1914.
Ketika itu Ridha juga telah mendirikan sebuah organisasi lain, Liga Arab (Al-jami'a al-arabiyya), dengan tujuan menciptakan 'persatuan antara Semenanjung Arabia dan provinsi-provinsi Arab di Kekaisaran Utsmani'. Agenda organisasi ini adalah pendirian 'Kekhalifahan (Konstitusional) Arab', suatu rencana yang tidak pernah terwujudkan. Yang lahir kemudian adalah Kerajaan Saudi Arabia.
Berkat kolaborasi antara Sa'ud bin Abdal 'Aziz - dengan legitimasi teologis dari Wahabbisme, atau ajaran Syekh Muhammad ibn Wahhab - dan pelindungnya Winston Churchil, PM Inggris ketika itu berdirilah kemudian sebuah kerajaan nasional di tanah Hijaz, pada 8 Januari 1926. Pada 1932 Tanah Hijaz, yang semula merupakan bagian dari Daulah Utsmani, oleh rezim yang baru ini secara resmi dinamai: Sa'udi Arabia! Inilah satu-satunya negara di dunia ini yang mendapat nama dari nama seseorang. Salah satu mata rantai awal pemberontakan ini sendiri, adalah Amir di Najd waktu itu, Abdullah Ibn Sa'ud, berhasil ditangkap dan akhirnya dipancung di depan istana Topkapi, di Istanbul, setelah diadili dan dinyatakan sebagai seorang zindiq, pada 1818.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar