Orang beriman yang menyadari akan sifat kehidupan dunia, ada gelap, ada terang, ada orang beriman, ada orang kafir, ada yang adil, ada yang zhalim, mungkin ia lebih hormat pada orang kafir yang terang-terangan memusuhi orang beriman, orang kafir seperti Abu Jahal, dibandingkan dengan bila ia berhadapan dengan penipu yang pengecut. Penipu itupun tidak bangga dipandang tidak beriman sebagai orang beragama Nasrani, juga yang beragama Islam. Tetapi kebanggaannya yang tertinggi hingga siap martir demi kebanggaannya itu, tidak pula terletak pada agamanya yang dicibirnya bersama orang-orang yang beraneka agama, yaitu agamanya orang-orang yang dipandang kolot, fanatik, reaksioner, berpandangan picik, lagi fundamentalis, sektarian dan primordialis.
Kejuangannya sebagai humanis sejati terletak pada kepahlawanannya memuja dewa yang diagungkannya dengan memberikan sajian ritus berupa darah dan nyawa revolusioner. Dewa yang dipuja-puja dan diagungkan secara sakral itu bernama 'Persaudaraan Baru'. Yaitu persaudaraan kaum revolusioner, yakni mereka yang beriman dengan yang tidak beriman, dalam satu dinamika semangat pembebasan di negeri-negeri orang beragama Nasrani di Amerika Latin, juga di Filipina di luar kendali Roma maupun Moskow. Dan di negeri orang-orang yang beragama Islam di Indonesia di luar kendali ulama maupun Partai Komunis di Indonesia. Ulama dipandangnya tidak mempunyai dasar menghukumi mereka kafir. Namun karena di negeri yang kekuatan Islamnya dikhawatirkan banyak orang akan bangkit, terhadap orang Islam yang beragama ‘Persaudaraan Baru’ Gerejapun kehilangan kepentingan untuk menjadikannya sasaran Kristenisasi, karena perkembangannya menjadi kekuatan torpedo terhadap kebangkitan kembali Islam, Back to Qur'an, Suatu torpedo yang fungsional secara alami dalam dialektika dinamika pergumulan Islamisasi dan sekularisasi.
Orang yang beragama Islam dibiayai melalui tangan seorang Romo Humanis hingga pendidikan strata tiga dan dikenal sebagai sosiolog. Sekembali dari pendidikannya ia bertanya pada Romo Humanis: “Apakah aku harus masuk agama Nasrani?” Dijawab oleh Romo Humanis: "Tidak.Kamu tidak harus berganti agama!" Ia mempunyai saudara yang sebangsa, setanah air dan seagama.Tentu saja bukan karena di KTP-nya sama-sama tercantum beragama Islam. Walaupun saudaranya itu beragama Islam yang sejak kecil hidup dalam lingkungan orang Islam. la tumbuh menjadi orang yang berpengaruh. Merupakan darah daging keluarga ulama besar panutan umat Islam, namun pengaruh besar yang dibawanya merupakan pengaruh sekuler yang tak pernah merujuk pada kitab suci Islam.
Penganut agama ‘Persaudaraan Baru’ beriman akan adanya neraka yang ditakutinya. Pertama : Neraka itu adalah kondisi keberagamaan yang gagal yang pernah diberikan Gereja dan diderita lebih banyak rakyat. Kondisi keberagamaan yang dilihat oleh Hegel sebagai suatu keterasingan (alienasi) hakikat manusia. Agama dalam pengertian itu yang dimaksud sebenarnya adalah agama Nasrani yang memang terasing dari hakikat kitab suci yang murni diwahyukan. Bahkan agama dipandang tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat rujukan yang murni diwahyukan. Agama itu merupakan salah satu dari berbagai bentuk ideologi, yakni produk keruhanian suatu masyarakat, hasil dan gagasan-gagasan, perlambang-perlambang dan alam kesadaran semuanya jelas dibentuk oleh produksi material dan berkaitan erat dengan hubungan- hubungan sosial yang ada dalam masyarakat (Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, Cet, I, 1999, hal.3).
Kondisi keberagamaan yang dilihat sebagai keterasingan hakikat manusia, menjadi bencana kemanusiaan yang direaksi dengan penolakan rujukan yang bersifat keagamaan tanpa daya pilah (buta bashirah mumayyiz) antara rujukan dalam arti agama yang merupakan candu rakyat dan rujukan yang murni diwahyukan.
Bagi orang yang beragama sekuler itu, nasib Islam dengan wahyu yang bebas bias subjektivitas manusia harus sama dengan nasib agama keterasingan.
Kekuatan Islam yang kembali kepada Kitab Suci (Back to Qur'an) menjadi hantu sejarah yang akan mengulang malapetaka kemanusiaan yang terjadi pada abad pertengahan ketika kaum bangsawan (ningrat) dan kaum Gereja terlibat persaingan di bidang kekayaan materi dan kemewahan di alam feodal. Oleh karena itu masyarakat beragama Islam harus diasingkan dari kitab sucinya sebelum hantu sejarah benar-benar menjadi bencana. Misi pengasingan manusia dari kitab suci Al-Qur'an harus menjadi tema aktual setiap saat terutama di negeri-negeri umat beragama Islam, dengan aksi-aksi demi tercapainya perdamaian abadi berwajah demokratisasi dan pembelaan hak asasi manusiawi serta penghargaan agama sesama yang lain yang berbeda.
Kedua : Neraka itu juga kondisi ketidakberagamaan yang gagal, yang pernah dipersembahkan Marxisrne dan diderita lebih banyak rakyat serta mengasingkan lebih banyak orang dari ruhani dan rujukan yang murni diwahyukan.
Keterasingan hakikat manusia dalam kristianitas akibat dosa warisan, membiarkan manusia terasing dari hakikat kebenaran yang diwahyukan (dan suci dari bias subjektivitas manusia). Kenyataannya tidak mampu terus-menerus tampil sebagai “hakikat yang sama pada semua masa”